Minggu, 27 Desember 2009

Susahnya Teliti Gelatin agar Tak Masuk Neraka

Orang-Orang Penentu Halal-Haram Produk Makanan dan Obat-obatan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) punya lembaga khusus yang bertugas meneliti halal-tidaknya sebuah produk makanan dan obat-obatan sebelum dilepas ke pasar. Prosesnya cukup rumit. Setidaknya menurut orang-orang yang berada di lembaga tersebut.

ZULHAM MUBARAK, Jakarta

Jika ingin tahu bagaimana rumitnya meneliti ratusan ribu produk makanan dan obat-obatan, bertanyalah kepada Nadra. Pria bernama lengkap Muhammad Nadratuzzaman Hosen ini adalah mantan direktur eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Baru tiga bulan lalu dia lengser dari jabatannya.

Tiga tahun menjabat direktur eksekutif LPPOM MUI, dia telah mengeluarkan sedikitnya 29 ribu sertifikat halal dan 250 ribu produk berlabel halal. Alumnus IPB ini memang terlibat langsung dalam setiap proses penentuan halal yang diterbitkan instansinya. Kini, pria 38 tahun itu masih tetap berkutat di LPPOM MUI. Hanya, dia sudah menjadi anggota dewan penasihat di lembaga tersebut.

Ketika ditemui Jawa Pos (grup Sumut Pos) di tempatnya mengajar di kompleks kampus Universitas YARSI, Jakarta, Selasa siang lalu (15/12), Nadra menyambut ramah. Dia tampak bersemangat ketika ditanya seputar pengalamannya selama menjadi orang nomor satu di LPPOM MUI.

“Tak terhitung sudah kisah menarik ketika kami bekerja,” ujar pria yang menempuh gelar master di University of New England (UNE) Australia ini.
Nadra pun menjelaskan secara rinci bagaimana prosedur sebuah produk hingga akhirnya dijamin kehalalannya. Mula-mula setiap perusahaan (produsen) harus mendaftarkan secara langsung ke kantor LPPOM MUI, di gedung MUI lantai 4 Jl Proklamasi, Jakarta. Saat itu sampel produk juga harus dibawa. Di sana mereka harus mengisi formulir, lalu menjelaskan bahan dan proses pembuatan produk yang dibawa. “Formulirnya memang tebal dan detail, karena kami tidak ingin melewatkan apa pun. Mungkin itulah kenapa kami kerap dituduh mempersulit,” cerita Nadra.

Berbekal formulir tersebut, LPPOM MUI segera menugasi para auditor untuk bekerja secara independen. Mereka inilah yang menelusuri proses produksi produk yang akan diujikan. Jawa Pos sempat diajak menyaksikan bagaimana repot dan rumitnya para auditor ketika bekerja.
Mereka yang mayoritas ahli kimia, ahli pangan, dan ahli produksi obat-obatan itu harus meneliti serta memelototi proses produksi mulai hulu hingga hilir. Semua bahan produk itu diteliti secara komprehensif, baik zatnya maupun proses mendapatkan zat tersebut.

Nadra mengatakan, di awal terbentuknya LPPOM MUI sekitar 20 tahun lalu, proses tersebut berlangsung cukup lama. Sebab, para auditor harus merunut asal bahan-bahan untuk menyusun sebuah produk. Inilah yang menyebabkan prosesnya cukup panjang. Sebab, tak jarang untuk keperluan itu, mereka harus berurusan dengan perusahaan-perusahaan lain. “Mengapa kami bekerja seperti itu” Sebab, prinsip kami sesuai Alquran, yaitu zero tolerance. Artinya, tidak bisa ditawar. Kalau halal ya halal, kalau haram ya haram. Setetes barang haram bisa membuat seluruh produk haram,” tegasnya.

Sekarang prosesnya bisa jauh lebih mudah. Sebab, sudah banyak produsen pembuat bahan-bahan penyusun produk yang diuji yang bersertifikat halal. “Ini lebih memudahkan,” katanya.

Yang menjadi musuh nomor satu bagi para auditor halal di LPPOM MUI, kata Nadra, adalah gelatin. Zat ini sering digunakan untuk memperindah dan memperhalus tekstur makanan. Biasanya digunakan pada bahan makanan. Antara lain, pembuatan yoghurt, permen, susu, kue, marshmallow, mentega, selai, jelly, pudding, dan kapsul.

Gelatin yang dibuat dari ekstrak tulang dan kulit hewan itu hampir tidak mungkin dideteksi sumbernya, apakah dari babi atau sapi. Hal itulah yang membuat auditor kerap terbentur jalan buntu. Mereka sulit memastikan apakah gelatin tersebut dari babi yang jelas haram atau dari sapi.
“Di dunia ini belum ada teknologi yang dapat mengurai asal gelatin. Gelatin dari sapi maupun babi hampir sama. Karena itu, kami bekerja sama dengan IPB. Kami adalah satu-satunya lembaga di dunia yang mengembangkan teknik analisis itu. Kini penelitian untuk merancang cara itu hampir tuntas,” papar pria yang juga anak salah seorang tokoh MUI ini.

Dia menambahkan, selama ini auditor halal kerap menemukan gelatin dalam pembuatan makanan atau obat. Karena itu, mereka selalu menelusuri perusahaan yang memasok bahan tersebut. Jika perusahaan pemasok gelatin termasuk dalam daftar produsen berbahan babi, rekomendasi halal bagi produk yang memiliki gelatin dalam daftar bahan pembuatnya itu tidak diluluskan. “Tapi, yang sulit adalah jika gelatin itu hasil ekspor. Biasanya, kami rekomendasikan untuk mengganti dengan bahan yang berbahan sapi atau zat lain,” katanya.

Nadra mengenang, proses paling rumit ketika yang mengajukan sertifikat halal adalah produsen essence atau rasa buatan. Sebab, produk itu mengandung sedikitnya 1.000-1.500 bahan kimia penyusun. Tuntutan zero tolerance membuat auditor bekerja hingga enam bulan lebih untuk memastikan kategori produk tersebut halal atau haram karena setiap zat penyusun itu harus diteliti di laboratorium.
“Kami ini diamanatkan oleh ratusan juta muslim di Indonesia. Jadi, ketika mulai bekerja, kami berkomitmen harus berani masuk neraka. Artinya, kami siap bertanggung jawab kepada Allah jika dalam analisis kami terjadi kesalahan,” paparnya. “Tapi, insya Allah, saya yakin bahwa selama ini kami telah bekerja semaksimal mungkin,” lanjutnya.

Di bagian lain, Direktur Eksekutif LPPOM MUI Lukmanul Hakim menambahkan bahwa saat ini dirinya memiliki 75 personel auditor yang sangat profesional. Selain memiliki kemampuan teknis terkait kimia dan produksi bahan makanan, mereka telah terlatih secara ilmu fiqih untuk menganalisis halal dan haramnya sebuah zat. “Kalau boleh saya katakan, personel kami ini gabungan antara ustad dan ilmuwan,” kata pria 35 tahun itu.

Lukman yang menggantikan posisi Nadra mengatakan, sulit menemukan sumber daya profesional yang memiliki dua sisi dalam bekerja. Yakni, ketelitian dan dedikasi profesi serta rasa tanggung jawab dan kejujuran kepada Allah. Karena itu, untuk menjaga personelnya tetap dalam peak performance, para auditor secara berkala duduk dalam majelis dan diberikan suntikan pemahaman Islam dan refreshment naluri pengetahuan ilmu terapan mereka. “Tiap Jumat kami rapat dan bertemu. Selain mengaji, di sana problem dan temuan hal-hal baru kami bahas bersama dan mencari penyelesaiannya,” katanya.

Lukman menyatakan, dalam bekerja, tak jarang auditor diiming-imingi suap dan hadiah dari perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal. Namun, beruntung. Karena bekal agama dan profesionalisme selama ini, kata dia, dirinya tidak menemukan adanya pelanggaran kode etik oleh personelnya. “Kami sering ditawari hadiah dan uang. Tapi, selalu kami tolak dengan tegas. Sebab, sekali kami salah langkah, nasib jutaan muslim akan ikut terjerumus dalam kesalahan kami,” papar dia.

Orang nomor satu di LPPOM itu memastikan bahwa proses suap yang dilakukan perusahaan pasti tidak akan mempan. Sebab, penentuan sertifikat halal itu tidak bergantung kepada satu-dua auditor, tetapi juga kepada tim. Selain itu, hasilnya akan dibawa ke rapat Dewan LPPOM dan kemudian dibahas lagi di Komisi Fatwa MUI sebelum disahkan.

Dia mengakui bahwa dari sisi kesejahteraan, para auditor pasti tidak akan terpenuhi. Sebab, pendapatan auditor dalam menangani setiap berkas adalah Rp300 ribu per hari. Lazimnya, setiap berkas akan tuntas dalam waktu sehari atau dua hari saja. Karena itu, dia membolehkan auditor bekerja secara freelance di luar wewenang mereka menjadi tim MUI. “Apalagi, karena sekarang bahan baku yang mereka gunakan sudah besertifikat, jadi proses pengecekan dan auditnya tidak lama,” terang dia.

Lalu, bagaimana cara mengawal proses produksi di perusahaan tersebut pasca sertifikasi” Setelah menerbitkan sertifikasi halal, MUI mewajibkan perusahan menunjuk salah seorang karyawan mereka untuk menjadi internal auditor. Selanjutnya, dia yang akan memiliki link ke MUI untuk memantau proses produksi dalam perusahaan tersebut. “Sertifikasi halal ini juga kami bikin masa expired. Jadi, akan ada proses audit berkala minimal setahun sekali bagi mereka,” terangnya.

Data terbaru menyebutkan bahwa tingkat perhatian publik terhadap produk halal semakin meningkat tiap tahun. Saat ini dipastikan hampir 70 persen umat Islam di Indonesia selalu memperhatikan label halal sebelum memastikan membeli sebuah produk. Karena itu, tuntutan profesionalitas kinerja mereka menjadi ujung tombak bagi bahan makanan yang akan dikonsumsi muslim Indonesia. “Kami beryukur bisa diberikan amanat ini oleh para ulama dan muslim Indonesia. Karena itu, kami akan jaga sebaik mungkin,” tutur Lukman. (kum/jpnn)

sumber:
http://www.hariansumutpos.com/2009/12/susahnya-teliti-gelatin-agar-tak-masuk-neraka.html
Tags: MUI

Gelatin, Kulit Babi VS Kulit Sapi

BOGOR -- Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Namun kondisi ini bukan berarti menjamin penduduk Indonesia bebas dari mengonsumsi sesuatu yang tak mengandung babi. Bagaimana tidak, hingga detik ini Indonesia masih 100 persen mengimpor gelatin. Padahal sekitar 50 persen produksi gelatin di dunia menggunakan kulit babi.

Bayangkan, gelatin merupakan bahan baku pembuatan kapsul, pelapis vitamin, dan tablet, bahkan bahan baku makanan seperti permen, krim, karamel, selai, yoghurt, susu olahan, dan sosis. Kebutuhan gelatin di Indonesia diimpor dari beberapa negara seperti Cina, Australia, dan beberapa negara Eropa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2007, jumlah impor gelatin mencapai 2.715.782 kg dengan nilai 9.535.128 dolar AS.

Ironisnya lagi, di negara sebesar Indonesia, belum ada satu industri pun yang melirik untuk memproduksi gelatin di dalam negeri. ''Padahal Indonesia mempunyai potensi bahan baku gelatin. Potensi utama berasal dari kulit sapi sisa split dari industri penyamakan kulit,'' ujar Kabid Agroindustri Perikanan dan Peternakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Irshan Zainuddin, di lokasi pilot plant pengolahan gelatin BPPT di Muhara, Desa Sarongge, Kecamatan Citeureuo, Kabupaten Bogor, Kamis (14/5).

Menurut Irshan, potensi bahan baku gelatin di Indonesia bisa dilihat dari jumlah sapi potong nasional yang mencapai 10,7 juta ekor (statistik peternakan Deptan 2007). Bila rata-rata berat kulit sapi 25 kg dan yang diolah hanya 20 persen dari potensi sapi potong nasional, lanjut dia, maka ada potensi kulit sapi 54 juta kg atau setara 3.250 hingga 4.300 ton gelatin. ''Jika kondisi ini terjadi maka dapat memenuhi seluruh kebutuhan nasional,'' cetusnya.

Lebih jauh Irshan mengatakan, pengembangan produksi gelatin dalam negeri dengan bahan baku kulit sapi juga dapat menjamin status kehalalan produk khususnya bagi umat Muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. ''Ini karena produksi gelatin dunia hampir 50 persen berasal dari kulit babi,'' ingatnya.

Dari laporan Gelatin Manufacturers of Europe, 2005 lalu, produksi gelatin dunia terbesar berasal dari kulit babi 44,5 persen (136 ribu ton), kulit sapi 27,6 persen (84 ribu ton), tulang 26,6 persen (81.600 ton), dan lainnya 1,3 persen (4000 ton). Kebutuhan gelatin Indonesia, lanjut dia, selama ini hanya dipenuhi dari impor. Padahal, gelatin dari kulit babi dan sapi sudah dibedakan. ''Gelatin dari kulit babi hanya bisa dilihat dari proses asam-nya. Tapi mana mungkin negara pengekspor itu membeberkan proses produksinya,'' jelasnya.

Oleh karena itu, kata Irshan, sejak 2004 lalu, BPPT tergerak untuk mengembangan teknologi proses produksi gelatin sebagai upaya mendukung kemandirian teknologi. Apalagi, imbuhnya, BPPT sebelumnya juga telah mengembangkan teknologi proses dengan menghasilkan teknologi perekayasaan alat mesin yang diperlukan dalam proses produksi gelatin. Seperti alat evaporasi triple effect falling film evaporator, alat ekstrusi scrapped surface heat exchanger, dan alat pengering dengan dehumidifikasi.

Alat-alat tersebut bila diimpor harganya sangat mahal. Sebagai contoh alat evaporator mencapai 900 ribu Euro dan ekstrusi 50 ribu dolar AS. ''Jadi pengembangan industri juga bisa menghemat biaya dan devisa negara,'' jaminnya.

Keunggulan teknologi pengolahan gelatin dari kulit sapi, ujar Irshan, juga dikarenakan pengolahannya bisa dari sisa split industri penyamakan kulit. ''Tak hanya itu, pengolahan ini juga memberikan nilai tambah,'' tegasnya.

Irshan mengungkapkan, saat ini kulit sapi sisa split hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan pada pasar tradisional berupa 'kikil' dengan harga di pabrik Rp 4000 atau sebagai bahan kerupuk kulit dengan harga sekitar Rp 10 ribu per kg. Harga bahan makanan tersebut murah sehingga nilai tambah rendah, sedangkan harga gelatin berkisar Rp 70 ribu hingga 90 ribu per kg. ''Selain itu, bahan pangan langsung kulit sapi, nilai gizinya sangat rendah, memang kulit mengandung protein tapi kandungan asam amino esensialnya sangat rendah,'' ingatnya.

Pengembangan proses pembuatan gelatin yang dilakukan oleh Bidang Teknologi Agroindustri Perikanan dan Peternakan BPPT diawali dengan proses perekayasaan rancang bangun alat, yakni mulai dari desain, detail desain, hingga pembuatan peralatan. Rangkaian proses pengolahan meliputi pencucian bahan baku, pemotongan (pengecilan ukuran kulit), perendaman dalam larutan kapur (liming), pencucian dan netralisasi, ekstrasi dengan air panas, filterasi, evaporasi, ekstrusi, pengeringan, penggilingan, dan pengemasan

Pencucian bahan baku dilakukan untuk menghilangkan sisa bahan yang digunakan pada proses sebelumnya, bahan perontok bulu (Na2S), kapur dan bahan pendukung lainnya. Pemotongan kulit dilakukan dalam dua tahap, pertama menggunakan alat pemotong awal membagi kulit menjadi tiga bagian dan berikutnya pemotongan kulit menjadi ukuran 4 x 4 cm. Perendaman kulit dilakukan dengan larutan kapur 15 persen selama 6 minggu dalam tahang atau molen dan setiap hari diputar untuk pengadukan. Pencucian setelah perendaman dilakukan hingga bebas dari sisa kapur dan diinteralisasi dengan bantuan ammonium sulfat hingga tercapai pH netral

Ekstraksi dilakukan dengan pemanasan bertingkat. Tahap pertama menggunakan panas 55 derajat celcius selama empat jam, hasilnya difilterasi. Sisa ampasnya diekstrasi lagi dengan suhu dinaikkan 10 derajat celcius. Demikian seterusnya hingga empat atau lima tahap. Hasil filterasi berupa larutan encer dipekatkan dengan evaporasi.

Proses evaporasi menggunakan teknologi triple effect falling film evapoltar. Fitrat pekat diekstrusi menggunakan teknologi scrapped surface heat exchanger. Hasil ekstrusi berupa seperti mie dikeringkan dengan alat pengering dengan dehumidifikasi. Gelatin kering digiling hingga menjadi butiran seperti gula pasir kemudian dikemas dalam kantong plastik.

Hasil uji mutu gelatin yang dilakukan memenuhi standar SNI 06-3735-1995, mutu dan cara uji gelatin. Nilai mutu kekuatan gel berkisar antara 150 hingga 220 bloom. Nilai Bloom adalah berat dalam gram yang dibutuhkan untuk penghisapan spesifik terhadap tekanan pemukaan standar. Harga gelatin di pasar dalam negeri berkisar antara Rp 70 ribu hingga 140 ribu per kg yang dibedakan berdasarkan nilai bloom 80,100,150,200, dan 220.

Di sisi lain Irshan menyatakan, potensi aplikasi industri gelatin lebih diutamakan diterapkan sebagai pengembangan diversifikasi industri penyamakan kulit. Namun ia mengaku industri penyamakan kulit di Indonesia juga belum begitu banyak. Tak sampai 70 buah. ''Tapi aplikasinya juga bisa dengan industri terpisah yang secara khusus memproduksi gelatin,'' ungkapnya.

Lantaran BPPT tak memiliki wewenang untuk mengkomersialisasikan hasil penelitiannya, kata Irshan, saat ini aplikasi teknologi proses pengolahan gelatin dirintis melalui pilot plant bekerjasama dengan pabrik penyamakan kulit PT Muhara Dwitunggal Laju yang terletak di Muhara, Desa Sarongge, Kecamatan Citeureuo, Kabupaten Bogor. Namun karena masih skala pilot plant, produksinya baru 200 kg dan akan ditingkatkan hingga satu ton. ''Pasar sudah banyak menunggu, terutama dari Bandung,'' jelasnya. eye/kpo (By Republika Newsroom
Kamis, 14 Mei 2009 pukul 15:54:00)